MANTEN KUCING TULUNGAGUNG
“Manten Kucing” Ndudhuk, Ndhudhah, Lan Nggugah Warisan Tradisi Budaya Lokal
Hasanah
budaya daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu
merupakan landasan utama untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia.
Berbagai macam tradisi budaya yang dimiliki Nusantara ini sangat beragam
bentuknya, mulai dari budaya tradisi Ngaben di Bali , Sekaten di
Yogyakarta , upacara Kasada di Bromo, dan budaya Manten Kucing di
Tulungagung.
Prof. S. Budhisantoso mengungkapkan,
bahwasanya setiap kali orang dapat berkata dengan bangganya, bahwa
masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan
kebudayaan . Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap sebagai
modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan
penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu
menjelaskan dengan baik di mana ke-bhineka-an (keragaman) serta
ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia yang tersebar di
Nusantara, dari Sa bang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix).
Tradisi
budaya lokal, potensinya sangat bagus apabila dikembangkan dengan
serius. Sehingga dengan budaya lokal-Iah kita mampu mewujudkan budaya
tingkat Nasional. Realitanya, banyak generasi muda di daerah tidak
memperdulikan bahkan mereka tidak mengetahui tradisi budaya yang ada
didaerahnya. Hal itu membuat keprihatinan tersendiri, sebab trend mode globalisasi lambat
laun memusnahkan pola pikir anak terhadap tradisi budaya yang ada.
Generasi muda lebih suka play station, game online dari pada melihat
festival manten kucing.
Masyarakat yang dibantu oleh pemerintah , harus mampu menggali (Ndudhuk) potensi
asset budaya daerah. Selain sebagai pendapatan daerah, tentunya budaya
daerah tersebut dapat dijadikan sebagai simbol kedaerahan, atau cirri
khas daerah. Ketika sudah menemukan (Ndudhah) tradisi yang ada maka untuk disegerakan pen gembangan dan memberdayakannya (Nggugah).
Kita tidak harus mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab
kalau kita berpikir secara aktif, dengan adanya perkembangan zaman
tersebut kita mampu memanfaatkannya untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti
halnya mempublikasikan melalui internet, media elektronik, dan
facebook. Sehingga belum tentu perkembangan zaman ini akan memusnahkan
keberadaan budaya tradisi daerah, melainkan kita harus mampu
memanfaatkan perkembangan zaman ini untuk menumbuhkembangkan budaya
tradisi kedaerahan.
Demikian pula seperti membangkitkan gairah pengembangan
dan pemberdayaan tradisi lokal yang identik sebagai simbolisasi dalam
memperkuat budaya Nasional. Manten Kucing, adalah tradisi budaya yang
berada di Desa Pelem, Kecam atau Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.
Tradisi budaya Manten Kucing ini
merupakan tradisi masyarakat untuk meminta diturunkannya hujan, ketika
musim kemarau panjang. Se hingga simbolisasi Manten Kucing ini ialah
ritual untuk meminta hujan. Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya,
tentunya bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Orang Jawa, dalam
tradisi budayanya memiliki unsur nilai-nilai tinggi, dan juga
penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud dalam bentuk upacara
tradisi, seperti halnya; Manten Kucing, tradisi budaya yang terdapat di
Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat , Kabupaten Tulungagung ini
dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh masyarakat sekitar, dan juga
pemerintah peran serta didalam pelaksanaannya.
Selain dijadikan media pembelajaran,
tentunya upacara tradisi budaya yang ada di daerahdaerah dapat dijadikan
sebagai focus objek wisata loka!. Menggali (Ndudhuk) potensi
upacara tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau perlu kita
mempelajari nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta (2004:176), untuk membangun ketahanan
budaya, kita harus menggali dan kemudian memilah-milah produk-produk
budaya yang kita warisi dari para leluhur kita. Tidak semua produk
budaya yang kita miliki konstruktif dan produktif. Ada beberapa produk
budaya yang harus kita tinggalkan, karena tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan zaman dan tidak lagi mampu menjawab kebutuhan zaman.
Semakin majunya teknologi komunikasi di
zaman sekarang, penulis merasa takut apabila warisan budaya tradisi
leluhur hanya tersimpan dalam bentuk audio-vidio. Sedangkan wujud budaya
aslinya sudah musnah ditelan perkembangan zaman. Sehingga melihat
kondisi semacam itu, generasi muda juga harus menjadi objek didalam
pembelajaran tradisi budaya. Pengembangan dan pemberdayaan tradisi
budaya yang ada di daerah selayaknya mulai dini dikenalkan kepada
generasi muda (pelajar), salah satunya dengan memuat kurikulum muatan
lokal, sanggar budaya, cafe budaya dan festival budaya.
Festival Manten Kucing
Manten Kucing merupakan tradisi budaya dari daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, keberadaan tradisi budaya Manten Kucing difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Tulungagung ke-805. Festival Manten Kucing tersebut di-ikuti 19 (Sembilan belas) kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Acara tersebut dilaksanakan pada hari kamis, 25 November 2010, kegiatan festival Manten Kucing tersebut berpusat di kawasan Kota Tulungagung.
Festival Manten Kucing
Manten Kucing merupakan tradisi budaya dari daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, keberadaan tradisi budaya Manten Kucing difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Tulungagung ke-805. Festival Manten Kucing tersebut di-ikuti 19 (Sembilan belas) kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Acara tersebut dilaksanakan pada hari kamis, 25 November 2010, kegiatan festival Manten Kucing tersebut berpusat di kawasan Kota Tulungagung.
Festival tersebut baru pertama kalinya
diadakan di Kabupaten Tulungagung, hal itu untuk memperkenalkan kepada
generasi muda, bahwasanya Manten Kucing adalah tradisi budaya khas
Tulungagung. Tradisi Manten Kucing biasanya diadakan di Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat tersebut merupakan upacara tradisi untuk meminta
diturunkan hujan.
Uniknya di festival tersebut terdapat
kolaborasi antara Manten Kucing dengan kesenian lain, antara Manten
Kucing dengan Reog Gendang, Jaranan Jawa dan Hadrah (sholawatan).
Sehingga kolaborasi tersebut mendapat sambuatan hangat dari masyarakat,
begitu pula para pelajar saat festival itu juga ikut serta menonton.
Secara tidak langsung akan menumbuhkan pengetahuan, pemahaman serta
mengenali asset budaya tradisi Manten Kucing.
Dalam satu sisi, diadakannya festival
Manten Kucing ini memang baik untuk memperkenalkan asset wisata budaya
daerah. Namun disisi lain, kesakralan upacara Manten Kucing didalam
festiva l tersebut sudah tidak terasa kesakralannya lagi. Sebab budaya
sudah menjadi tontonan, bukan lagi tuntunan. Penulis merasakan
kesakralan upacara Manten Kucing saat mengikuti prosesi upacara di Desa
Pelem, Kecamatan Campurdarat. Sehingga simpulan sederhana adalah kita
harus mampu untuk memilah-milah didalam mengembangkan dan memberdayakan
asset wisata daerah, agar nilai-nilai dan pesan moralnya tidak hilang,
bukan hanya sekedar hiburan.
Pergeseran nilai yang sangat
mengkhawatirkan tersebut dapat kita lihat jelas, karena menggejala
secara mencolok di sekitar kita, yang antara lain adalah; (1). Nilai
moral lebih murah daripada nilai materi; (2). Tuhan terasa jauh dan uang
terasa dekat; (3). Produk-produk budaya asing lebih digandrungi
daripada produk-produk budaya sendiri; (4). Kepentingan agama, politik,
dan ekonomi dicampur adukan, sehingga batas-batasannya menjadi jelas;
(5). Kekerasan sering digunakan untuk menyelesaikan perbagai persoalan
dalam masyarakat (Ayu Sutarta, 2004:173).
Sehingga untuk Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah asset
budaya daerah harus memiliki konsep yang matang. Mengembangkan dan
memberdayakan asset budaya daerah tidak harus mengorbankan unsur
nilai-nilai positif yang sudah ada. Dari dulu hingga sekarang, budaya
adalah pembelajaran yang . konkrit dan fleksibel.
Selayang Pandang Manten Kucing
Mengenai sejarah keberadaan Manten Kucing , penulis merangkainya dari beberapa sumber yang penulis anggap masih berkompeten. Tradisi budaya Manten Kucing ini berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga sekitar Desa Pelem, bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan setiap tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Selayang Pandang Manten Kucing
Mengenai sejarah keberadaan Manten Kucing , penulis merangkainya dari beberapa sumber yang penulis anggap masih berkompeten. Tradisi budaya Manten Kucing ini berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga sekitar Desa Pelem, bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan setiap tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya didalam upacara tradisi Manten
Kucing ini adalah sepasang kucing jantan dan betina. Awalnya daerah Desa
Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda kemarau panjang, hingga warga
kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah adalah tokoh yang
membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di sebuah telaga,
yaitu Telaga Coban.
Ketika Eyang Sangkrah mandi di Telaga
Coban, Beliau membawa serta seekor kucing di telaga tersebut. Kucing
Condro Mowo, sebutan kucing yang dibawa oleh Eyang Sangkrah, setelah di
Telaga Coban kucing tersebut dimandikan. Anehnya, sepulang dari mandi di
Telaga Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang lama
menunggu turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan perasaan syukur dan
bahagia. Saat itulah, warga menyakini turunnya hujan tersebut ada
kaitannya dengan peristiwa Eyang Sangkrah yang memandikan Kucing Condro
Mowo. Sehingga tradisi tersebut menjadi tradisi, yang setiap tahun
diselenggarakan oleh warga Desa Pelem , dengan sebutan tradisi budaya
“Manten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat oleh Demang
Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem , Kecamatan Campurdarat kembali dilanda
kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo mendapatkan wangsit (petunjuk)
untuk mengadakan upacara memandikan kucing di Telaga Coban. Maka,
dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor kucing itu
dimandikan di Telaga Coban . Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah
hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi Manten Kucing ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan uburampe atau
persiapan untuk mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah persia pan
selesai, maka prosesi kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo yang
diwadahi didalam keranji. Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi
tersebut adalah berwarna putih dan hitam, yang terdiri dari kucing
lanang (jantan) dan kucing wadon (perempuan). Saat pengkirapan tersebut,
kucing lanang lan wadon berada di barisan paling depan
sendiri, setelah itu di-ikuti oleh para sesepuh dan tokoh desa. Para
sesepuh dan tokoh desa tersebut juga memakai pakaian khas adat Jawa.
Setelah sampai di Telaga Coban, kucing
Condro Mowo dimandikan secara bergantian, sebelum ditemukan layaknya
manten manusia. Kucing Condro Mowo tersebut dimandikan dengan air telaga
yang dicampur dengan kembang setaman yang sudah dipersiapkan terlebih
dahulu.
Usai dimandikan, kedua kucing itu diarak menuju lokasi pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe, pasangan
kucing jantan dan betina itu dipertemukan. Laki-Iaki dan perempuan yang
membawa kucing Condro Mowo, duduk bersandingan di kursi pelaminan.
Sedangkan kucingnya, berada di pangkuan laki-Iaki dan perempuan yang
juga memakai pakaian pengantin. Upacara pernikahan “Manten Kucing”
tersebut ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh
desa setempat. Kurang lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya
Manten Kucing sudah selesai.
Uniknya pad a tahun 2007, atau tiga tahun
yang lalu ketika upacara tradisi Manten Kucing digelar, terdapat
kearifal lokal yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara kucing
jantan dan kucing betina, orang yang sudah tua (sesepuh) duduk
dipelaminan sambil menyanyikan lagu-Iagu tradisional, seperti;
Uyek-Uyek Ranti
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit .. . Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
Uyek-Uyek Ranti
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit .. . Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
Setelah selesai prosesi Manten Kucing tersebut, maka acara selanjutnya adalah pagelaran seni budaya. Pagelaran seni tersebut adalah Tiban dan Langen Tayup. Kesenian Tiban disini adalah kesenian yang menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi pohon aren yang dipilin sebagai alatnya. Ketika salah satu pemain Tiban tersebut mengeluarkan darah segar, maka menandakan prasyarat bahwa hujan akan turun.
Sehingga mulai dari prosesi Manten
Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk memohon
diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi
nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten
Kucing bukan semata-mata meminta hujan,melainkan sudah menjadi upacara
tradisi yang diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka
warga takut kalau terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.
Konsep Tradisi Budaya
Tradisi budaya, merupakan dua suku kata, yaitu tradisi dan budaya. Sehingga dua suku kata tersebut merupakan gabungan kata yang menunjukan suatu keselarasan, yaitu; tradisi budaya. Menurut Kamus Lengkap Bahasa ‘Indonesia (Hoetomo, 2005:550), Trebekula adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa caracara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar, mentradisi: menjadi tradisi. Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pad a norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun; menurut tradisi (adat). Adapun tradisionalisme adalah paham (ajaran dan sebagainya) yang berdasarkan pada tradisi.
Tradisi budaya, merupakan dua suku kata, yaitu tradisi dan budaya. Sehingga dua suku kata tersebut merupakan gabungan kata yang menunjukan suatu keselarasan, yaitu; tradisi budaya. Menurut Kamus Lengkap Bahasa ‘Indonesia (Hoetomo, 2005:550), Trebekula adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa caracara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar, mentradisi: menjadi tradisi. Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pad a norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun; menurut tradisi (adat). Adapun tradisionalisme adalah paham (ajaran dan sebagainya) yang berdasarkan pada tradisi.
Masyarakat adalah salah satu pencipta
budaya, setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda. Sehingga dengan
budaya, dapat membedakan antara masyarakat satu dengan masyarakat
lainnya. Disetiap masyarakat yang berbudaya akan menampakkan ciri khas
yang berbeda, seperti; Manten Kucing dari Tulungagung , didalam
upacaranya . menggunakan kucing sebagai media upacara. Kebudayaan
mencakup suatu pemahaman komprehensif yang sekaligus bisa diurai dan
dilihat beragam variab le dan cara pemahamannya. Kebudayaan dalam arti
suatu pandangan yang menyeluruh menyangkut pandangan hid up, sikap, dan
nilai. Atau menurut deskripsi Raymond Williams, “General state or habit of the mind general state of intellectua’l development in a society or a whole”. Disebutnya pula, “The general body of arts. A whole way of life, material, intellectual, spiritual”. (Jakob Oetam~, 2009:9, dalam bunga rampai judul
buku Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures I-V/2004-2008,
Perspektif Budaya). Budaya orang Jawa, selalu menitikberatkan akan
pentingnya pembentukan moral yang baik. Moral merupakan kunci utama
untuk membentuk kepriadian manusia yang berbudi luhur. Sehingga Nampak
sudah budaya orang Jawa itu selalu menunjukkan nilai-nilai dan pesan
moral positif. Dari berbudaya yang baik, maka akan menghasilkan nilai
positif bagi masyarakat. Kebudayaan orang Jawa selalu menampakkan nilai
norma-norma positif yang dipegang teguh dalam kehidupan keseharian .
Kata budaya berasal dari kata Sankseke rta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa asing lainnya terdapat kata-kata seperti culture (Inggris), cultuur (Belanda), atau kultur (Jerman). Kata-kata itu sebenarnya berasal dari bahasa Latin colere yang
berarti pemeliharaan, pengolahan , dan penggarapan tanah menjadi tanah
pertanian. Dalam arti kiasan, katakata itu juga diberi arti “pembentukan
dan pemurnian “, misalnya pembentukan dan pemurnian jiwa. Menurut
kaidah bahasa, culture atau cultuur diartikan menjadi “budaya”, sedangkan cultural atau culturele menjadi “kebudayaan “. Budaya merupakan kata benda, sedangkan “kebudayaan” adalah kata sifat (Mochamoed Effendhie, 2000: 1).
Simpulan
“Manten Kucing” merupakan tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Upacara prosesi Manten Kucing tersebut, terdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya, selain itu mempunyai pesan moral, seperti halnya; kita juga harus bersahabat dengan alam dan sekitarnya, guyub rukun dan saling tolong menolong.
Tradisi Manten Kucing sendiri pad a tahun
2010 yang bertepatan dengan Hari Jadi Tulungagung ke-805, dijadikan
festival budaya. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan tradisi budaya
Manten Kucing kepada khalayak umum, khususnya pelajar bahwasanya di
Tulungagung terdapat tradisi · budaya Manten Kucing.
Adapun nilai-nilai yang dapat penulis tangkap dari prosesi Manten Kucing , diantaranya; Pertama, manusia
memang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta yang mempunyai, akal
pikiran, budi pekerti, nalar, rasa dan karsa. Sehingga mewujudkan diri
untuk memilik budaya positif. Sehingga dengan berbudaya yang baik, akan
memberikan norma-norma positif di masyarakat.
Kedua, dengan adanya tradisi
budaya Manten Kucing tersebut, warga saling dapat tolong menolong,
hormat menghormati diantaranya. Sehingga kerukunan dan keselarasan hidup
menjadi damai, tenang, dan sejahtera. Didalam prosesi Manten Kucing
sendiri masyarakat diajak untuk Guyup Rukun.
Sebenarnya selain menjadi media
pembelajaran, keberadaan Manten Kucing bisa dijadikan sebagai objek
wisata loka!. Keberadaan asset wisata daerah itulah, maka akan menyokong
keberadaan budaya Nasional. Dengan berbudaya yang baik, maka kita akan
menjadi sosok manusia, masyarakat atau bahkan Negara yang berbudi luhur,
saling menghormatu, tolong menolong, jujur dan sopan. Masyarakat
Indonesia, khususnya di daerah-daerah dahulu terkenal dengan
keramahtamahannya. Akankah dengan berbudaya baik, kita mampu mewujudkan
sifat ramah dan tamah?
Sehingga istilah Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah, merupakan
rangkaian dalam menggali, menemukan dan mengembangan serta
memberdayakan potensi budaya yang ada di daerah. Perkembangan zaman
seperti sekarang ini, membuat tantangan tersendiri bagi kita untuk mampu
mengolah perkembangan zaman itu untuk menumbuhkan asset budaya loka!.
Berkat akal, pengalaman, dan kesadaran nurani, maka kita harus bergerak
untuk mengolah potensi daerah menjadi asset yang berharga dan mempunyai
nilai pendidikan.
Secara teoritis, kebudayaan akan
mengajarkan nilai-nilai yang baik dan juga mencerminkan normanorma
positif bagi generasi muda. Tinggal generasi muda (pelajar) mampu atau
tidak untuk menangkap nilai yang terkandung didalam kebudayaan. Sebab
kebudayaan sekarang ini sekedartontonan, bukan lagi sebagai tuntunan,
realita yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar